Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah dan Upaya Penumpasan
Fatah adalah komandan Laskar Hizbullah di daerah Tulangan, Siduardjo, dan Mojokertodi Jawa Timur pada pertempuran 10 November 1945. Setelah perang kemerdekaan ia meninggalkan Jawa Timur dan bergabung dengan pasukan TNI di Tegal. Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII).
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepada TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Didaerah Merapi-Merbabu terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah, Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders. DI / TII Jawa Tengah terjadi Pada tanggal 23 Agustus 1949, Pemimpinnya Amir Fatah dan Mahfu‘dz Abdurachman ( Kyai Somalangu).
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
DI/TII itu kemudian memusuhi pasukan TNI dengan mengadakan pengadangan dan menyerang pasukan TNI yang sedang dalam perjalanan kembali ke Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dengan segala cara menyebarkan pengaruh-nya ke Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah di pimpin Amir Fatah. Daerah operasinya di daerah Pekalongan Tegal dan Brebes dimana daerah tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam yang fanatik.
Pada waktu daerah pendudukan Belanda terjadi kekosongan, maka pada bulan Agustus 1948 Amir Fatah masuk ke daerah pendudukan Belanda di Tegal dan Brebes dengan membawa 3 kompi Hizbullah. Amir Fatah masuk daerah pendudukan melalui Sektor yang dipimpin oleh Mayor Wongsoatmojo. Mereka berhasil masuk dengan kedok untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda dan mendapat tugas istimewa dari Panglima Besar Sudirman untuk menyadarkan Kartosuwiryo.
Amir Fatah setelah tiba di daerah pendudukan Belanda di Tegal dan Brebes kemudian melepaskan kedoknya untuk mencapai tujuan. Dengan jalan intimidasi dan kekerasan berhasil membentuk organisasi Islam yang dinamakan Majlis Islam (MI) mulai tingkat dewasa sampai Karesidenan. Disamping itu menyusun suatu kekuatan yaitu Tentara Islam Indonesia (TII) dan Barisan Keamanan serta Pahlawan Darul Islam (PADI). Dengan demikian di daerah pendudukan, Amir Fatah telah menyusun kekuatan di Jawa Tengah.
Sementara itu Mayor Wongsoatmojo pada bulan Januari 1949 masuk daerah pendudukan Belanda di Tegal dan Brebes dengan kekuatan 4 kompi. Kemudian diadakan perundingan dengan pimpinan Majelis Islam (MI) yang diawali Amir Fatah. Dengan perundingan itu dapat dicapai suatu kerjasama antara pemerintah militer dengan MI juga antara TNI dengan pasukan Hizbullah dan Amir Fatah diangkat menjadi Ketua Koordinator daerah operasi Tegal-Brebes.
Dibalik itu semuanya Amir Fatah menggunakan kesempatan tersebut untuk menyusun kekuatan TII dan DI-nya. Usaha untuk menegakkan kekuasaan di Jawa Tengah semakin nyata. Lebih-lebih setelah datangnya Kamran Cakrabuana sebagai utusan DI/TlI Jawa Barat untuk mengadakan perundingan dengan Amir Fatah maka keadaan berkembang dengan cepat. Amir Fatah diangkat Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal TII. Sejak itu Amir menyerahkan tanggung jawab dan jabatannya selaku Ketua Koordinator daerah Tegal-Brebes kepada Komandan SKS (Sub Wherkraise) III. Ia mengatakan bahwa Amir Fatah dengan seluruh kekuatan bersenjatanya tidak terikat lagi dengan Komandan SWKS III.
Untuk melaksanakan cita-citanya di Jawa Tengah, DI mengadakan teror terhadap rakyat dan TNI yang sedang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian dapat dibayangkan betapa berat perjuangan TNI di daerah SWKS III, karena harus menghadapi dua lawan sekaligus yaitu Belanda dan DI/TII pimpinan Amir Fatah. Kemudian pasukan DI mengadakan penyerbuan terhadap markas SWKS III di Bantarsari. Pada waktu itu pula terjadilah pembunuhan massal terhadap satu Regu Brimob pimpinan Komisaris Bambang Suprapto. Pukulan teror DI di daerah SWKS III membuat kekuatan TNI menjadi terpecah belah tanpa hubungan satu sama lain.
Upaya Penumpasan DI/TII Jawa Tengah
Akibat teror DI tersebut, daerah SWKS III menjadi gawat. Untuk mengatasi keadaan ini Letkol Moch. Bachrun Komandan Brigade 8/WK I mengambil tindakan mengkonsolidasikan SWKS III yang telah terpecah-pecah. Kemudian diadakan pengepungan terhadap pemusatan DI. Gerakan selanjutnya dilaksanakan dalam fase ofensif. Gerakan tersebut berhasil memecah belah kekuatan DI/TII sehingga terjadi kelompok-kelompok kecil. Dengan terpecahnya kekuatan DI menjadi kelompok-kelompok kecil tersebut akhirnya gerakan mereka dapat dipatahkan.
Setelah itu gerakan diarahkan kepada pasukan Belanda DI/TII. Gerakan itu dilaksanakan siang dan malam, sehingga kedudukan mereka terdesak. Dalam keadaan moril pasukan tinggi, datang perintah penghentian tembak-menembak dengan Belanda. Akhirnya menghasilkan KMB yang keputusan-keputusannya harus dilaksanakan oleh TNI antara lain penggabungan KNIL dengan TNI. Dalam situasi TNI berkonsolidasi, Amir Fatah mengambil kesempatan untuk menyusun kekuatan kembali. Kekuatan baru itu memilih daerah Bumiayu menjadi basis dan markas komandonya. Setelah mereka kuat mulai menyerang pos-pos TNI dengan cara menggunakan massa rakyat. Untuk mencegah DI Amir Fatah agar tidak meluas ke daerah-daerah lain di Jawa Tengah, maka diperlukan perhatian khusus.
Kemudian Panglima Divisi III Kolonel Gatot Subroto mengeluarkan siasat yang bertujuan memisahkan DI Amir Fatah dengan DI Kartosuwiryo, menghancurkan sama sekali kekuatan bersenjata dan membersihkan sel-sel DI dan pimpinannya. Dengan dasar instruksi siasat itu maka terbentuklah Komando Operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN). Daerah Operasi disebut daerah GBN. Pimpinan Operasi GBN yang pertama Letkol Sarbini, kemudian diganti oleh Letkol M. Bachrun dan terakhir Letkol A. Yani. Dalam kepemimpinan Letkol A. Yani untuk menumpas Di Jawa Tengah dan gerakan ke timur dari DI Kartosuwiryo yang gerakannya meningkat dengan melakukan teror terhadap rakyat, maka dibentuk pasukannya yang disebut Banteng Raiders.
Kemudian diadakan perubahan gerakan Banteng dari defensif menjadi ofensif. Gerakan menyerang musuh dilanjutkan dengan fase pembersihan. Dengan demikian tidak memberi kesempatan kepada musuh untuk menetap dan konsolidasi di suatu tempat. Operasi tersebut telah berhasil membendung dan menghancurkan ekspansi DI ke timur, sehingga rakyat Jawa tengah terhindar dari bahaya kekacauan dan gangguan keamanan dari DI.
Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia berhasil mempengaruhi Angkatan Oemat Islam (AOI), dan Batalion 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap Batalion 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan karena adanya tindakan pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.
Rekomendasi artikel terkait, baca selengkapnya :
Sumber Referensi :
- Maqdalia Alfian, Nana Nuliyana dan Sudarini. 2000. Sejarah Untuk Kelas XII. Jakarta: Penerbit : Erlangga.
- Suhartono. 2006. Sejarah Smp IX. Jakarta: Widya Utama
Comments
Post a Comment